Opini. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil Pada 25 November 2021. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama 2 tahun dengan mengedepankan partisipasi bermakna dari masyarakat (meaningful participation).
Akan tetapi Presiden Joko Widodo justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja, artinya Perppu itu akan menggantikan UU Cipta Kerja. Dasar hukum dibuatnya Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang”.
Berdasarkan Pasal tersebut maka ada tiga poin ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Pertama pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang; Kedua kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan kegentingan yang memaksa; dan Ketiga peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut hanya mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya. Penetapan Perppu Cipta Kerja merupakan pelaksanaan konstitusi atas kewenangan atributif Presiden berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Namun, pelaksanaan kewenangan tersebut juga dibatasi dimana Perppu harus diajukan kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan. Dengan demikian subjektifitas Presiden dalam menetapkan Perppu, akan dinilai secara obyektif oleh DPR RI untuk dapat ditetapkan menjadi Undang-Undang.
Dalam pertimbangan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja setidaknya ada tujuh kondisi yang dianggap sebagai kegentingan memaksa oleh Presiden. Pertama, pemenuhan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan. Kedua, penyerapan tenaga kerja dan adanya tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat mengganggu perekonomian nasional. Ketiga, perlunya penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan cipta kerja. Keempat, kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja. Kelima, perlunya terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan dalam beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang dengan metode omnibus. Keenam, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Cipta Kerja sebelumnya. Ketujuh, repon terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi yang akan berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Meskipun kegentingan memaksa merupakan hak subjektif Presiden, akan tetapi mengenai makna ikhwal kegentingan memaksa dapat dilihat dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dijelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila; (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Jika merujuk pada tiga poin pada putusan tersebut, maka menurut hemat penulis tidak ada catatan ataupun poin yang dapat memebenarkan di terbitkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker. Maka dapat dikatakan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dapat dikategorikan sebagai wujud penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, selain itu Perppu tersebut telah melanggar asas kepastian hukum serta melanggar konstitusi yaitu Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, menurut hukum, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 haruslah dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja menunjukkan bahwa ini merupakan tanda-tanda otoritarianisme dalam kemasan peraturan perundang-undangan semakin nyata. Perppu Cipta Kerja hanyalah gerakan tipu-tipu atau akal bulus untuk menghidupkan kembali UU Cipta Kerja yang telah dinilai inkonstitusional bersyarat oleh MK.
Padahal dalam putusan MK tersebut, sudah jelas bahwa harusnya ada perbaikan selama 2 tahun, salah satu perbaikan yang diminta MK meliputi aspek partisipasi bermakna bersama masyarakat. Namun ternyata Pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dengan tidak memenuhi amanat serta amar Putusan Nomor 91/PUU/XVIII/2020 dan tidak memenuhi Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan proses pembentukannya bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 kerena tidak pula memenuhi syarat kegentingan memaksa yang seharusnya didasarkan pada keadaan yang objektif. Padahal Presiden seharusnya melaksanakan putusan MK dengan langkah-langkah substantif dan bertanggung jawab.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa setelah ditetapkan, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Masa sidang berikut yang dimaksud dalam UUD adalah masa sidang pertama setelah Perppu ditetapkan. Artinya Pasal 22 ayat (2) ini menugaskan kepada DPR untuk segera membahas suatu Perppu yang baru disahkan oleh Presiden untuk mengambil keputusan menyetujui atau menolak Perppu. Kemudian lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 22 ayat (3) disebutkan bahwa jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu itu harus dicabut. Pada tanggal 16 Februari 2023 lalu, DPR melaksanakan masa sidang ketiga Periode 2022-2023, akan tetapi tidak ada pengesahan oleh DPR terhadap Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Maka dengan tidak adanya pengesahan oleh DPR hingga berakhirnya masa sidang menunjukkan tidak ada persetujuan dari DPR, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (3) tersebut Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sudah seharusnya di cabut atau dapat dikatakan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 secara otomatis batal demi hukum karena masuk dalam kategori tidak mendapat persetujuan DPR. Karena adanya persetujuan dan pengesahan DPR merupakan syarat mutlak berlakunya sebuah Perppu menjadi Undang-Undang. Perppu dibuat lantaran unsur kemendesakan yang membuat tindakan cepat untuk mengisi kekosongan hukum dalam keadaan genting yang memaksa.
Dengan dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ini juga berdampak buruk terhadap hubungan antar lembaga negara yaitu antara Presiden, DPR dan MK. Presiden tidak menghormati putusan MK atau bahkan dapat dikatakan bentuk pembangkangan terhadap konsititusi sekaligus tidak menghormati DPR selaku lembaga pembentuk Undang-Undang. Selain itu Pengesahan Perppu Cipta Kerja ini juga akan merusak sistem legislasi sebagaimana telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penggunaan metode omnibus dalam UU No. 13 Tahun 2022 secara khusus hanya boleh dilakukan bila tahapannya dimulai dengan mencantumkannya di dalam dokumen perencanaan peraturan seperti Prolegnas. Apabila DPR memimiliki akal sehat, sudah seharusnya Perppu ini ditolak karena telah mengesampingkan peran DPR untuk ikut serta memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK.
Opini Oleh: Helga Meifa Samosir, S.H Alumni Fakultas Hukum Angkatan 2018 Universitas Bengkulu.